Relasi Persahabatan Hindu-Buddha
di Pusdiklat Sikkhadama Santibhumi, Serpong dan Pura Merta Sari Rempoa
LAPORAN OBSERVASI
Kelompok 4:
1. Aeni
Nurul Latifah
2. Dila
Ardana
3. Siti
Maryam Fikriyah
Minggu
20 Oktober 2019, kami melakukan kunjungan ke Vihara Pusdiklat Shikkadama
Santibhumi, Serpong atau bisa disebut dengan Pusdiklat Sangha Theravada
Indonesia. Disana kami melakukan wawancara dengan pengurus Vihara yang bernama
ibu Damai, ia menceritakan tentang sejarah berdirinya Vihara Pusdiklat ini, ia
mengatakan bahwa tanah yang digunakan untuk membuat tempat ini merupakan hibah
dari Bapak Pranoto Latif. Awal mulanya akan dibuat Vihara, namun karena izinnya
sulit maka dibuatlah Pusdiklat. Pusdiklat merupakan Pusat Pendidikan dan
Latihan dimana ini dibangun untuk para calon Bikkhu seluruh Indonesia. Dalam
pelatihan di Pusdiklat ini, para Bikkhu harus melakukan “berwasa” selama tiga
bulan dalam satu tahun. Berwasa dilakukan dengan cara berdiam diri, tidak boleh
keluar dari Vihara, Pusdiklat ini juga merupakan pusat dari Sangha Theravada
Indonesia, serta dipimpin oleh presiden yang mereka sebut Sanghanayaka.
Di
pusdiklat ini terdapat beberapa lantai. Lantai
pertama, merupakan lantai serbaguna, bisa dijadikan tempat pasamuan para
bikkhu, dan berdana. Lantai kedua,
terdiri dari ruang-ruangan untuk puja bhakti dari jenjang pra-TK sampai SD. Lantai tiga, tempat Puja Bhakti secara
umum. Sebelum memasuki Vihara, umat Buddha harus melaukan penghormatan kepada
sang Buddha. Perlu di pahami, ternyata umat Buddha memanggil Bikkhu atau
Bikkhuni dengan sebutan “Bhante”,, di lantai ini juga tepatnya di belakang
altar terdapat ruangan khusus untuk Bikkhu yang disebut dengan “Kuti”, dimana
tempat ini tidak sembarang orang yg bisa masuk, terlebih itu perempuan, dan
yeng membersihkan kuti ini pun dilakukan oleh Bikkhu dari menyapu, mengepel,
mencuci pakaiannya dilakukan sendiri. Di Sangha Therava Indonesia ini, dalam
melakukan Puja Bhakti terdapat 4 rangkaian kegiatan yaitu: Menyanyikan Lagu-lagu
Buddhis, Pembacaan Parita Suci (kitab suci yang bertujuan untuk menangkal
keburukan, mara bahaya), Meditasi dan Ceramah. Upakara yang ada di altar, yaitu
dupa, lilin, bunga dan juga buah-buahan (biasanya dari umat).
Selasa
22 Oktober 2019, kami melakukan kunjungan ke Pura Merta Sari Rempoa. Disana
kami mewawancarai salah satu Pandita bernama Pandita Wayan Pinda Asmara, beliau
menceritakan tentang sejarah berdirinya Pura Merta Sari Rempoa ini. Beliau
mengatakan bahwa Pura ini berdiri pada tanggal 31 Januari 1982, kemudian diresmikan
oleh bupati dan camat Ciputat pada tahun 1984. Pemberian nama pada Pura Merta
Sari Rempoa, dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam musyawarah tersebut
ditentukan empat orang pandita untuk menuliskan nama pada dupa, setelah itu
dilakukan ritual doa. Nama dipilih berdasarkan dupa yang masih bertahan lama dan
menyala pada saat ritual berdo’a tersebut, dengan alasan menandakan kekuatan. Nama
Merta Sari mempunyai arti, dimana Merta artinya kehidupan dan Sari artinya
inti. Jadi Merta Sari yaitu inti kehidupan.
Keyakinan
dalam agama Hindu itu ada lima yang biasa disebut Panca Srada. Yaitu:
1. Meyakini
Tuhan, Tuhan tidak bisa dibayangkan karena tidak berwujud dan berbentuk
2. Percaya
adanya Atman
3. Hukum
Karmaphala atau hukum timbal balik, apabila di dunia melakukan perbuatan buruk
maka di akhirat dapat balasan yang buruk juga
4. Meyakini
Reinkarnasi, proses penghidupan kembali apabila belum bisa mencapai moksa
5. Moksa,
tujuan hidup dalam ajaran Hindu, merupakan tujuan untuk mencari kedamaian yang
abadi baik di dunia maupun di alam baka (akhirat).
Sebelum
memasuki Pura, umat Hindu wajib menyiramkan air suci ke tubuhnya dan wajib memakai
selendang kuning yang diikatkan dipinggang. Selendang tersebut bertujuan untuk
mengikat hawa nafsu dan ego penggunanya, sedangkan air suci bertujuan agar
memberikan ketenangan dalam menjalankan proses ibadah (sembahyang). Sarana
upacara yang harus ada ketika melakukan ibadah yaitu: Pertama, air suci, yaitu air yang sudah di doakan oleh Pandita. Kedua, dupa dimana terdapat api dan
asap, api tersebut dilambangkan sebagai kekuatan. Ketiga, bunga sebagai sarana untuk ungkapan perasaan. Harus
diingat, seorang perempuan ketika sedang mengalami datang bulan dilarang masuk
ke tempat ibadah, karena dianggap tidak dalam keadaan suci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar