Kamis, 21 November 2019

Relasi Persahabatan Hindu-Buddha

Relasi Persahabatan Hindu-Buddha 
di Pusdiklat Sikkhadama Santibhumi, Serpong dan Pura Merta Sari Rempoa



LAPORAN OBSERVASI

Kelompok 4:
1. Aeni Nurul Latifah
2. Dila Ardana
3. Siti Maryam Fikriyah

Minggu 20 Oktober 2019, kami melakukan kunjungan ke Vihara Pusdiklat Shikkadama Santibhumi, Serpong atau bisa disebut dengan Pusdiklat Sangha Theravada Indonesia. Disana kami melakukan wawancara dengan pengurus Vihara yang bernama ibu Damai, ia menceritakan tentang sejarah berdirinya Vihara Pusdiklat ini, ia mengatakan bahwa tanah yang digunakan untuk membuat tempat ini merupakan hibah dari Bapak Pranoto Latif. Awal mulanya akan dibuat Vihara, namun karena izinnya sulit maka dibuatlah Pusdiklat. Pusdiklat merupakan Pusat Pendidikan dan Latihan dimana ini dibangun untuk para calon Bikkhu seluruh Indonesia. Dalam pelatihan di Pusdiklat ini, para Bikkhu harus melakukan “berwasa” selama tiga bulan dalam satu tahun. Berwasa dilakukan dengan cara berdiam diri, tidak boleh keluar dari Vihara, Pusdiklat ini juga merupakan pusat dari Sangha Theravada Indonesia, serta dipimpin oleh presiden yang mereka sebut Sanghanayaka.
Di pusdiklat ini terdapat beberapa lantai. Lantai pertama, merupakan lantai serbaguna, bisa dijadikan tempat pasamuan para bikkhu, dan berdana. Lantai kedua, terdiri dari ruang-ruangan untuk puja bhakti dari jenjang pra-TK sampai SD. Lantai tiga, tempat Puja Bhakti secara umum. Sebelum memasuki Vihara, umat Buddha harus melaukan penghormatan kepada sang Buddha. Perlu di pahami, ternyata umat Buddha memanggil Bikkhu atau Bikkhuni dengan sebutan “Bhante”,, di lantai ini juga tepatnya di belakang altar terdapat ruangan khusus untuk Bikkhu yang disebut dengan “Kuti”, dimana tempat ini tidak sembarang orang yg bisa masuk, terlebih itu perempuan, dan yeng membersihkan kuti ini pun dilakukan oleh Bikkhu dari menyapu, mengepel, mencuci pakaiannya dilakukan sendiri. Di Sangha Therava Indonesia ini, dalam melakukan Puja Bhakti terdapat 4 rangkaian kegiatan yaitu: Menyanyikan Lagu-lagu Buddhis, Pembacaan Parita Suci (kitab suci yang bertujuan untuk menangkal keburukan, mara bahaya), Meditasi dan Ceramah. Upakara yang ada di altar, yaitu dupa, lilin, bunga dan juga buah-buahan (biasanya dari umat).
Selasa 22 Oktober 2019, kami melakukan kunjungan ke Pura Merta Sari Rempoa. Disana kami mewawancarai salah satu Pandita bernama Pandita Wayan Pinda Asmara, beliau menceritakan tentang sejarah berdirinya Pura Merta Sari Rempoa ini. Beliau mengatakan bahwa Pura ini berdiri pada tanggal 31 Januari 1982, kemudian diresmikan oleh bupati dan camat Ciputat pada tahun 1984. Pemberian nama pada Pura Merta Sari Rempoa, dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam musyawarah tersebut ditentukan empat orang pandita untuk menuliskan nama pada dupa, setelah itu dilakukan ritual doa. Nama dipilih berdasarkan dupa yang masih bertahan lama dan menyala pada saat ritual berdo’a tersebut, dengan alasan menandakan kekuatan. Nama Merta Sari mempunyai arti, dimana Merta artinya kehidupan dan Sari artinya inti. Jadi Merta Sari yaitu inti kehidupan.
Keyakinan dalam agama Hindu itu ada lima yang biasa disebut Panca Srada. Yaitu:
1. Meyakini Tuhan, Tuhan tidak bisa dibayangkan karena tidak berwujud dan berbentuk
2. Percaya adanya Atman
3. Hukum Karmaphala atau hukum timbal balik, apabila di dunia melakukan perbuatan buruk maka di akhirat dapat balasan yang buruk juga
4. Meyakini Reinkarnasi, proses penghidupan kembali apabila belum bisa mencapai moksa
5. Moksa, tujuan hidup dalam ajaran Hindu, merupakan tujuan untuk mencari kedamaian yang abadi baik di dunia maupun di alam baka (akhirat).

Sebelum memasuki Pura, umat Hindu wajib menyiramkan air suci ke tubuhnya dan wajib memakai selendang kuning yang diikatkan dipinggang. Selendang tersebut bertujuan untuk mengikat hawa nafsu dan ego penggunanya, sedangkan air suci bertujuan agar memberikan ketenangan dalam menjalankan proses ibadah (sembahyang). Sarana upacara yang harus ada ketika melakukan ibadah yaitu: Pertama, air suci, yaitu air yang sudah di doakan oleh Pandita. Kedua, dupa dimana terdapat api dan asap, api tersebut dilambangkan sebagai kekuatan. Ketiga, bunga sebagai sarana untuk ungkapan perasaan. Harus diingat, seorang perempuan ketika sedang mengalami datang bulan dilarang masuk ke tempat ibadah, karena dianggap tidak dalam keadaan suci.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Profil Penulis dan Dosen Pengampu

Kelompok 4 Profil Penulis: Aeni Nurul Latifah Serang, 24 Desember 1998 11170321000037 Hobi: Baca Novel dan Memasak Siti Marya...