1. Upacara Pernikahan Buddha
Dalam video tersebut, upacara perkawinan mempelai Joe dan Amy
dilangsungkan di Vihara Buddha Sujata.
Persiapan peralatan upacara terdiri dari :
1.
Altar dimana terdapat Buddharupang.
2.
Lilin lima warna (biru, kuning, merah, putih,
jingga).
3.
Tempat dupa.
4.
Dupa wangi 9 batang.
5.
Gelas/mangkuk kecil berisi air putih dengan
bunga (untuk dipercikkan).
6.
Dua vas bunga dan dua piring buah-buahan untuk
dipersembahkan oleh kedua mempelai.
7.
Cincin kawin.
8.
Kain kuning berukuran 90 X 125 cm2.
9.
Pita kuning sepanjang 100 cm.
10.
Tempat duduk (bantal) untuk pandita, kedua
mempelai, dan bhikkhu.
11.
Surat ikrar perkawinan.
12.
Persembahan dana untuk bhikkhu, dapat berupa
bunga, lilin, dupa dan lain-lain.
Pelaksanaan Upacara Perkawinan :
1.
Pandita dan pembantu pandita sudah siap di
tempat upacara.
2.
Kedua mempelai memasuki ruangan upacara dan
berdiri di depan altar.
3.
Pandita menanyakan kepada kedua mempelai,
apakah ada ancaman atau paksaan yang mengharuskan mereka melakukan upacara
perkawinan menurut tatacara agama Buddha, apabila tidak ada maka acara dapat
dilanjutkan.
4.
Penyalaan lilin lima warna oleh pandita dan
orang tua dari kedua mempelai.
5.
Persembahan bunga dan buah oleh kedua mempelai.
6.
Pandita mempersembahkan tiga batang dupa dan
memimpin namaskara.
7.
Pernyataan ikrar perkawinan.
8.
Pemasangan cincin kawin.
9.
Pengikatan pita kuning dan pemakaian kain
kuning.
10.
Pemercikan air pemberkahan oleh orang tua dari
kedua mempelai dan pandita.
11.
Pembukaan pita kuning dan kain kuning.
12.
Wejangan oleh pandita.
13.
Penandatanganan Surat lkrar Perkawinan.
2. Upacara Metatah (Potong gigi) dalam Agama Hindu
Upacara ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh
Sad Ripu yang ada pada diri si manak.
Sarana :
1.
Sajen sorohan dan suci untuk persaksian kepada
Hyang Widhi Wasa.
2.
Sajen pabhyakalan prayascita, panglukatan, alat
untuk memotong gigi beserta perlengkapannya seperti: cermin, alat pengasah
gigi, kain untuk rurub serta sebuah cincin dan permata, tempat tidur yang sudah
dihias.
3.
Sajen peras daksina, ajuman dan canang sari,
kelapa gading dan sebuah bokor.
4.
Alat pengganjal yang dibuat dari potongan kayu
dadap. Belakangan dipakai tebu, supaya lebih enak rasanya.
5.
Pengurip-urip yang terdiri dari kunyit serta
pecanangan lengkap dengan isinya.
Upacara ini dilaksanakan setelah anak meningkat
dewasa (sebaiknya sebelum anak itu kawin). Dalam keadaan tertentu dapat pula
dilaksanakan setelah berumah tangga. Tempat Seluruh rangkaian upacara potong
gigi dilaksanakan di rumah dan di pemerajan. Pelaksana Upacara potong gigi
dilaksanakan oleh Pandita/Pinandita dan dibantu oleh seorang sangging (sebagai
pelaksana langsung).
Tata Cara :
1.
Yang diupacarai terlebih dahulu mabhyakala dan
maprayascita.
2.
Setelah itu dilanjutkan dengan muspa ke hadapan
Siwa Raditya memohon kesaksian.
3.
Selanjutnya naik ke tempat upacara menghadap ke
hulu. Pelaksana upacara mengambil cincin yang dipakai ngerajah pada
bagian-bagian seperti: dahi, taring, gigi atas, gigi bawah, lidah, dada, pusar,
paha barulah diperciki tirtha pesangihan.
4.
Upacara dilanjutkan oieh sangging dengan
menyucikan peralatannya.
5.
Orang yang diupacari diberi pengganjal dari
tebu dan giginya mulai diasah, bila sudah dianggap cukup diberi pengurip-urip.
6.
Setelah diberi pengurip-urip dilanjutkan dengan
natab banten peras kernudian sembahyang ke hadapan Surya Chandra dan
Mejaya-jaya.
Acuan
Sumber sastra mengenai upacara potong gigi
adalah lontar Kala Pati, kala tattwa, Semaradhana, dan sang Hyang Yama.dalam
lontar kala Pati disebutkan bahwa potong gigi sebagai tanda perubahan status
seseorang menjadi manusia sejati yaitu manusia yang berbudi dan suci sehingga
kelak di kemudian hari bila meniggal dunia sang roh dapat bertemu dengan para
leluhur di sorga Loka. Lontar Kala tattwa menyebutkan bahwa Bathara Kala
sebagai putra Dewa Siwa dengan Dewi Uma tidak bisa bertemu dengan ayahnya di
sorga sebelum taringnya dipotong. Oleh karena itu, manusia hendaknya menuruti
jejak Bathara kala agar rohnya dapat bertemu dengan roh leluhur di sorga. dalam
lontar Semaradhana disebutkan bahwa Bethara Gana sebagai putra Dewa Siwa yang
lain dapat mengalahkan raksasa Nilarudraka yang menyerang sorgaloka dengan
menggunakan potongan taringnya.
Selain itu disebutkan bahwa Bethara Gana lahir
dari Dewi Uma setelah Dewa Siwa dibangunkan Dari tapa semadhinya oleh Dewa
Semara (Asmara) namun kemudian Dewa Siwa menghukum Dewa Semara bersama
istrinya, Dewi Ratih,dengan membakarnya sampai menjadi abu. kemudian
menyebarkan abu tersebut ke dunia dan mengutuk manusia agar tidak bisa hidup
tanpa berpasangan (laki-perempuan) dalam suami istri. Dalam lontar Sang Hyang
yama disebutkan bahwa upacara potong gigi boleh dilaksanakan bila anak sudah
menginjak dewasa, ditandai dengan menstruasi untuk wanita dan suara yang
membesar untuk pria. Biasanya hal ini muncul di kala usia 14 tahun.
Tujuan Upacara Potong Gigi
Tujuan upacara potong gigi dapat disimak lebih
lanjut dari lontarkalapati dimana disebutkan bahwa gigi yang digosok atau
diratakan dari gerigi adalah enam buah yaitu dua taring dan empat gigi seri di
atas. Pemotongan enam gigi itu melambangkan symbol pengendalian terhadap sad
Ripu (enam musuh dalam diri manusia). Meliputi kama (hawa nafsu), Loba (rakus),
Krodha (marah), mada (mabuk), moha (bingung), dan Matsarya (iri hati). Sad Ripu
yang tidak terkendalikan ini akan membahayakan kehidupan manusia, maka
kewajiban setiap orang tua untuk menasehati anak-anaknya serta memohon kepada
Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari pengaruh sad ripu.Makna yang tersirat dari
mitologi Kala Pati, kala Tattwa, dan Semaradhana ini adalah mengupayakan
kehidupan manusia yang selalu waspada agar tidak tersesat dari ajaran agama
(dharma) sehingga di kemudian hari rohnya dapat yang suci dapat mencapai surge
loka bersama roh suci para leluhur, bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi).Dalam
pergaulan mudamudi pun diatur agar tidak melewati batas kesusilaan seperti yang
tersirat dari lontar Semaradhana.
Upacara potong gigi biasanya disatukan dengan
upacara Ngeraja Sewala atau disebutkan pula sebagai upacara “menek kelih”, yaitu
upacara syukuran karena si anak sudah menginjak dewasa, meninggalkan masa
anak-anak menuju ke masa dewasa.
Naik ke bale tempat mepandes dengan terlebih
dahulu menginjak caru sebagai lambang keharmonisan, mengetukkan linggis tiga
kali (Ang,Ung,Mang) sebagai symbol mohon kekuatan kepada Hyang Widhi dan ketiak
kiri menjepit caket sebagai symbol kebulatan tekad untuk mewaspadai sad ripu. Selama
mepandes, air kumur dibuang di sebuah nyuh gading agar tidak menimbulkan
keletehan. Demikianlah sekilas makna dari upacara potong gigi atau mepandes.[1]
Upacara perkawinan hakekatnya adalah upacara
persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua
orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri.
Sarana :
1.
Segehan cacahan warna lima.
2.
Api takep (api yang dibuat dari serabut
kelapa).
3.
Tetabuhan (air tawar, tuak, arak).
4.
Padengan-dengan/ pekala-kalaan.
5.
Pejati.
6.
Tikar dadakan (tikar kecil yang dibuat dari
pandan).
7.
Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang
kayu dadap yang ujungnya diberi periuk, bakul yang berisi uang).
8.
Bakul.
9.
Pepegatan terdiri dari dua buah cabang dadap
yang dihubungkan dengan benang putih.
Waktu pelaksanannya biasanya dipilih hari yang
baik, sesuai dengan persyaratannya (ala-ayuning dewasa). Tempat Dapat dilakukan
di rumah mempelai Iaki-laki atau wanita sesuai dengan hukum adat setempat
(desa, kala, patra). Pelaksana Dipimpin oleh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi
/ Pemangku.
Tata cara
1.
Sebelum upacara natab banten pedengan-dengan,
terlebih dahulu mempelai mabhyakala dan maprayascita.
2.
Kemudian mempelai mengelilingi sanggah Kamulan
dan sanggah Pesaksi sebanyak tiga kali serta dilanjutkan dengan jual beli
antara mempelai Iaki-laki dengan mempelai wanita disertai pula dengan perobekan
tikar dadakan oleh mempelai Iaki-laki.
3.
Sebagai acara terakhir dilakukan mejaya-jaya
dan diakhiri dengan natab banten dapetan. Bagi Umat Hindu upacara perkawinan
mempunyai tiga arti penting yaitu :
a.
Sebagai upacara suci yang tujuannya untuk
penyucian diri kedua calon mempelai agar mendapatkan tuntunan dalam membina
rumah tangga dan nantinya agar bisa mendapatkan keturunan yang baik dapat
menolong meringankan derita orang tua/leluhur.
b.
Sebagai persaksian secara lahir bathin dari
seorang pria dan seorang wanita bahwa keduanya mengikatkan diri menjadi
suami-istri dan segala perbuatannya menjadi tanggung jawab bersama.
c.
Penentuan status kedua mempelai, walaupun pada
dasarnya Umat Hindu menganut sistim patriahat (garis Bapak) tetapi dibolehkan
pula untuk mengikuti sistim patrilinier (garis Ibu). Di Bali apabila kawin
mengikuti sistem patrilinier (garis Ibu) disebut kawin nyeburin atau nyentana yaitu
mengikuti wanita karena wanita nantinya sebagai Kepala Keluarga.
Upacara Pernikahan ini dapat dilakukan di halaman
Merajan/Sanggah Kemulan (Tempat Suci Keluarga) dengan tata upacara yaitu kedua
mempelai mengelilingi Sanggah Kemulan (Tempat Suci Keluarga) sampai tiga kali
dan dalam perjalanan mempelai perempuan membawa sok pedagangan (keranjang
tempat dagangan) yang laki memikul tegen-tegenan (barang-barang yang dipikul)
dan setiap kali melewati “Kala Sepetan” (upakara sesajen yang ditaruh di tanah)
kedua mempelai menyentuhkan kakinya pada serabut kelapa belah tiga.
Setelah tiga kali berkeliling, lalu berhenti
kemudian mempelai laki berbelanja sedangkan mempelai perempuan menjual segala
isinya yang ada pada sok pedagangan (keranjang tempat dagangan), dilanjutkan
dengan merobek tikeh dadakan (tikar yang ditaruh di atas tanah), menanam pohon
kunir, pohon keladi (pohon talas) serta pohon endong dibelakang sanggar
pesaksi/sanggar Kemulan (Tempat Suci Keluarga) dan diakhiri dengan melewati
"Pepegatan" (Sarana Pemutusan) yang biasanya digunakan benang
didorong dengan kaki kedua mempelai sampai benang tersebut putus.[1]
4. Upacara Magedong 7 Bulanan Hindu
Upacara Megedong-Gedongan adalah upacara yang
dilakukan untuk bayi yang masih ada dalam kandungan ibunya, Megedong-Gedongan
termasuk dalam Manusa Yadnya. Agama Hindu khususnya di Bali tak bisa lepas dari
upacara, upacara dalam agama Hindu disebut Yadnya. Yadnya terdiri dari 5 macam
yang biasa disebut Panca Yadnya, yaitu :
Dewa
Yadnya :
Upacara suci yang dipersembahkan untuk dewa-dewi, Tuhan Yang Maha Esa.
Bhuta Yadnya :
Upacara suci yang dilakukan untuk menyucikan alam beserta isinya.
Manusa Yadnya : Upacara
suci yang dilakukan pada manusia.
Pitra Yadnya :
Upacara suci yang dipersembahkan kepada roh leluhur.
Rsi Yadnya :
Upacara suci yang dilakukan untuk para orang suci umat Hindu.
Masing-masing Yadnya tersebut memilik
bagian-bagian lagi. Untuk upacara yang termasuk Manusa Yadnya mulai dari
Megedong-Gedongan, Otonan, Tiga Bulanan, Metatah (potong gigi), Pawiwahan
(pernikahan) dan lainnya.
Pelaksanaan upacara Megedong-Gedongan adalah
ketika kehamilan berumur 7 bulan Bali (1 bulan Bali = 35 hari) atau sekitar 8
bulan masehi. Namun di beberapa tempat di Bali ada juga yang melaksanakan
ketika kehamilan berumur 6 bulan Bali. Di tempat saya, upacara Megedong-Gedongan
dilakukan ketika kehamilan berumur 7 Bulan Bali dan dicari agar bertepatan
dengan hari Purnama.
Rangkaian upacara Megedong-Gedongan diawali
dengan upacara melukat di “kelebutan” yaitu sumber air alami yang dianggap
suci. Kemudian dilanjutkan dengan melukat di gria yang dilakukan oleh sulinggih
(Ida Pendanda). Sore harinya upacara Megedong-Gedongan dilaksanakan di rumah
yang dipuput oleh Pemangku. Pelaksanaan upacara Megedong-Gedongan kurang lebih
seperti upacara Otonan, namun ada beberapa sesajen yang berbeda.
Terakhir pasangan suami istri akan duduk
berdampingan untuk mendengarkan kekawin (kidung suci) yang berisi tentang
petuah dan nasehat untuk ibu hamil dan juga suaminya. Dalam petuah tersebut
banyak hal yang berisi tentang larangan dan juga saran untuk pasangan suami
istri. Misalnya suami tidak boleh berkata kasar atau berbuat kasar pada istri,
suami tidak boleh membangunkan istri dengan tiba-tiba dan berbagai hal lainnya.
Walaupun upacara Megedong-Megedongan hanya ada
dalam agama Hindu, tetapi di daerah Jawa juga ada upacara serupa, biasa disebut
dengan Tujuh Bulanan. Namun upacara Tujuh Bulanan tersebut bukan upacara agama
melainkan upacara adat. Ini mungkin tidak lepas dari sejarah dimana dulunya
agama Hindu adalah agama yang dianut di nusantara sebelum agama lain masuk
Indonesia.
Upacara tersebut hingga kini masih dilaksanakan
oleh sebagian penduduk di Jawa apapun agamanya karena upacara tersebut
merupakan warisan leluhur yang pada dasarnya mempunyai tujuan suci dan kebaikan
khususnya bagi bayi yang ada dalam kandungan sang ibu.[1]
5. Upacara Ngaben Hindu di Bali
Upacara Ngaben ini termasuk ke dalam ngaben
Sawa Wedana, yaitu upacara ngaben dengan melibatkan jenazah yang masih utuh
(tanpa dikubur terlebih dahulu). Biasanya dilaksanakan dalam waktu 3-7 hari dihitung dari hari meninggalnya orang tersebut. Kecuali pada upacara dengan skala Utama, yang persiapannya bisa
berlangsung sampai sebulan. Dimana pihak keluarga mempersiapkan segala
sesuatu untuk upacara, maka jenazah akan diletakkan di balai adat yang ada di
masing-masing rumah dengan pemberian ramuan tertentu untuk memperlambat
pembusukan jenazah. Pemberian ramuan sering digantikan dengan
penggunaan formalin. Selama jenazah masih ditaruh di balai adat, pihak keluarga
masih memperlakukan jenazahnya layaknya masih hidup, seperti
membawakan kopi, memberi makan disamping jenazah, membawakan handuk dan
pakaian, dll sebab sebelum diadakan upacara yang disebut Papegatan maka yang
bersangkutan dianggap hanya tidur dan masih berada dilingkungan keluarganya,
mayat ini bernama I Wayan Ijin.
Makna
dan Tujuan sebagai berikut:
1. Dengan
membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau
laut memiliki makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian
sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam).
2. Membakar
jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun
badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak menghalangi
perjalan Atma ke Sunia Loka.
3. Bagi
pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah
ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan.
Rangkaian
Upacara Ngaben:
1.
Ngulapin :
Upacara memangggil sang Atman.
2.
Nyiramin :
Memandikan jenazah di halaman rumah keluarga.
3.
Ngajum Kajang :
Selembar kertas putih yang ditulis dengan aksara magis oleh pemangku.
4.
Ngaskara :
Penyucian Roh Mendiang.
5.
Mameras :
artinya berhasil, dan upacara ini dilakukan ketika mendiang sudah memiliki cucu.
6.
Papegatan :
Memutuskan hubungan duniawi dan cinta dari kerabat mendiang.
7.
Pakiriman Ngutang : Jenazah dinaikan ke atas wadah atau menara pengusung jenazah.
8.
Ngeseng :
Upacara pembakaran jenazah.
9.
Ngayud :
Menghanyutkan abu jenazah, sebagai ritual menghanyutkan kotoran yg masih
tertingal dalam roh mendiang.
10. Makelud : dilaksanakan 12 hari setelah
melakukan pembakaran, dengan tujuan untuk menyucikan lingkungan sekitar.[1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar