Kamis, 21 November 2019

Upacara Keagamaan Hindu-Buddha di Indonesia

1. Upacara Pernikahan Buddha



Dalam video tersebut, upacara perkawinan mempelai Joe dan Amy dilangsungkan di Vihara Buddha Sujata.

Persiapan peralatan upacara terdiri dari : 

1.      Altar dimana terdapat Buddharupang.

2.      Lilin lima warna (biru, kuning, merah, putih, jingga).

3.      Tempat dupa.

4.      Dupa wangi 9 batang.

5.      Gelas/mangkuk kecil berisi air putih dengan bunga (untuk dipercikkan).

6.      Dua vas bunga dan dua piring buah-buahan untuk dipersembahkan oleh kedua mempelai.

7.      Cincin kawin.

8.      Kain kuning berukuran 90 X 125 cm2.

9.      Pita kuning sepanjang 100 cm.

10.  Tempat duduk (bantal) untuk pandita, kedua mempelai, dan bhikkhu.

11.  Surat ikrar perkawinan.

12.  Persembahan dana untuk bhikkhu, dapat berupa bunga, lilin, dupa dan lain-lain.

Pelaksanaan Upacara Perkawinan :

1.      Pandita dan pembantu pandita sudah siap di tempat upacara.

2.      Kedua mempelai memasuki ruangan upacara dan berdiri di depan altar.

3.      Pandita menanyakan kepada kedua mempelai, apakah ada ancaman atau paksaan yang mengharuskan mereka melakukan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha, apabila tidak ada maka acara dapat dilanjutkan.

4.      Penyalaan lilin lima warna oleh pandita dan orang tua dari kedua mempelai.

5.      Persembahan bunga dan buah oleh kedua mempelai.

6.      Pandita mempersembahkan tiga batang dupa dan memimpin namaskara.

7.      Pernyataan ikrar perkawinan.

8.      Pemasangan cincin kawin.

9.      Pengikatan pita kuning dan pemakaian kain kuning.

10.  Pemercikan air pemberkahan oleh orang tua dari kedua mempelai dan pandita.

11.  Pembukaan pita kuning dan kain kuning.

12.  Wejangan oleh pandita.

13.  Penandatanganan Surat lkrar Perkawinan.

14.  Namaskara penutup dipimpin oleh pandita.[1]





2. Upacara Metatah (Potong gigi) dalam Agama Hindu




Upacara ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu yang ada pada diri si manak.

Sarana :

1.      Sajen sorohan dan suci untuk persaksian kepada Hyang Widhi Wasa.

2.      Sajen pabhyakalan prayascita, panglukatan, alat untuk memotong gigi beserta perlengkapannya seperti: cermin, alat pengasah gigi, kain untuk rurub serta sebuah cincin dan permata, tempat tidur yang sudah dihias.

3.      Sajen peras daksina, ajuman dan canang sari, kelapa gading dan sebuah bokor.

4.      Alat pengganjal yang dibuat dari potongan kayu dadap. Belakangan dipakai tebu, supaya lebih enak rasanya.

5.      Pengurip-urip yang terdiri dari kunyit serta pecanangan lengkap dengan isinya.

Upacara ini dilaksanakan setelah anak meningkat dewasa (sebaiknya sebelum anak itu kawin). Dalam keadaan tertentu dapat pula dilaksanakan setelah berumah tangga. Tempat Seluruh rangkaian upacara potong gigi dilaksanakan di rumah dan di pemerajan. Pelaksana Upacara potong gigi dilaksanakan oleh Pandita/Pinandita dan dibantu oleh seorang sangging (sebagai pelaksana langsung).

Tata Cara :

1.      Yang diupacarai terlebih dahulu mabhyakala dan maprayascita.

2.      Setelah itu dilanjutkan dengan muspa ke hadapan Siwa Raditya memohon kesaksian.

3.      Selanjutnya naik ke tempat upacara menghadap ke hulu. Pelaksana upacara mengambil cincin yang dipakai ngerajah pada bagian-bagian seperti: dahi, taring, gigi atas, gigi bawah, lidah, dada, pusar, paha barulah diperciki tirtha pesangihan.

4.      Upacara dilanjutkan oieh sangging dengan menyucikan peralatannya.

5.      Orang yang diupacari diberi pengganjal dari tebu dan giginya mulai diasah, bila sudah dianggap cukup diberi pengurip-urip.

6.      Setelah diberi pengurip-urip dilanjutkan dengan natab banten peras kernudian sembahyang ke hadapan Surya Chandra dan Mejaya-jaya.

Acuan

Sumber sastra mengenai upacara potong gigi adalah lontar Kala Pati, kala tattwa, Semaradhana, dan sang Hyang Yama.dalam lontar kala Pati disebutkan bahwa potong gigi sebagai tanda perubahan status seseorang menjadi manusia sejati yaitu manusia yang berbudi dan suci sehingga kelak di kemudian hari bila meniggal dunia sang roh dapat bertemu dengan para leluhur di sorga Loka. Lontar Kala tattwa menyebutkan bahwa Bathara Kala sebagai putra Dewa Siwa dengan Dewi Uma tidak bisa bertemu dengan ayahnya di sorga sebelum taringnya dipotong. Oleh karena itu, manusia hendaknya menuruti jejak Bathara kala agar rohnya dapat bertemu dengan roh leluhur di sorga. dalam lontar Semaradhana disebutkan bahwa Bethara Gana sebagai putra Dewa Siwa yang lain dapat mengalahkan raksasa Nilarudraka yang menyerang sorgaloka dengan menggunakan potongan taringnya.

Selain itu disebutkan bahwa Bethara Gana lahir dari Dewi Uma setelah Dewa Siwa dibangunkan Dari tapa semadhinya oleh Dewa Semara (Asmara) namun kemudian Dewa Siwa menghukum Dewa Semara bersama istrinya, Dewi Ratih,dengan membakarnya sampai menjadi abu. kemudian menyebarkan abu tersebut ke dunia dan mengutuk manusia agar tidak bisa hidup tanpa berpasangan (laki-perempuan) dalam suami istri. Dalam lontar Sang Hyang yama disebutkan bahwa upacara potong gigi boleh dilaksanakan bila anak sudah menginjak dewasa, ditandai dengan menstruasi untuk wanita dan suara yang membesar untuk pria. Biasanya hal ini muncul di kala usia 14 tahun.

Tujuan Upacara Potong Gigi

Tujuan upacara potong gigi dapat disimak lebih lanjut dari lontarkalapati dimana disebutkan bahwa gigi yang digosok atau diratakan dari gerigi adalah enam buah yaitu dua taring dan empat gigi seri di atas. Pemotongan enam gigi itu melambangkan symbol pengendalian terhadap sad Ripu (enam musuh dalam diri manusia). Meliputi kama (hawa nafsu), Loba (rakus), Krodha (marah), mada (mabuk), moha (bingung), dan Matsarya (iri hati). Sad Ripu yang tidak terkendalikan ini akan membahayakan kehidupan manusia, maka kewajiban setiap orang tua untuk menasehati anak-anaknya serta memohon kepada Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari pengaruh sad ripu.Makna yang tersirat dari mitologi Kala Pati, kala Tattwa, dan Semaradhana ini adalah mengupayakan kehidupan manusia yang selalu waspada agar tidak tersesat dari ajaran agama (dharma) sehingga di kemudian hari rohnya dapat yang suci dapat mencapai surge loka bersama roh suci para leluhur, bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi).Dalam pergaulan mudamudi pun diatur agar tidak melewati batas kesusilaan seperti yang tersirat dari lontar Semaradhana.

Upacara potong gigi biasanya disatukan dengan upacara Ngeraja Sewala atau disebutkan pula sebagai upacara “menek kelih”, yaitu upacara syukuran karena si anak sudah menginjak dewasa, meninggalkan masa anak-anak menuju ke masa dewasa.

Naik ke bale tempat mepandes dengan terlebih dahulu menginjak caru sebagai lambang keharmonisan, mengetukkan linggis tiga kali (Ang,Ung,Mang) sebagai symbol mohon kekuatan kepada Hyang Widhi dan ketiak kiri menjepit caket sebagai symbol kebulatan tekad untuk mewaspadai sad ripu. Selama mepandes, air kumur dibuang di sebuah nyuh gading agar tidak menimbulkan keletehan. Demikianlah sekilas makna dari upacara potong gigi atau mepandes.[1]



3. Upacara Pernikahan Hindu





Upacara perkawinan hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri.

Sarana :

1.      Segehan cacahan warna lima.

2.      Api takep (api yang dibuat dari serabut kelapa).

3.      Tetabuhan (air tawar, tuak, arak).

4.      Padengan-dengan/ pekala-kalaan.

5.      Pejati.

6.      Tikar dadakan (tikar kecil yang dibuat dari pandan).

7.      Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya diberi periuk, bakul yang berisi uang).

8.      Bakul.

9.      Pepegatan terdiri dari dua buah cabang dadap yang dihubungkan dengan benang putih.

Waktu pelaksanannya biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan persyaratannya (ala-ayuning dewasa). Tempat Dapat dilakukan di rumah mempelai Iaki-laki atau wanita sesuai dengan hukum adat setempat (desa, kala, patra). Pelaksana Dipimpin oleh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi / Pemangku.

Tata cara

1.      Sebelum upacara natab banten pedengan-dengan, terlebih dahulu mempelai mabhyakala dan maprayascita.

2.      Kemudian mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan sanggah Pesaksi sebanyak tiga kali serta dilanjutkan dengan jual beli antara mempelai Iaki-laki dengan mempelai wanita disertai pula dengan perobekan tikar dadakan oleh mempelai Iaki-laki.

3.      Sebagai acara terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri dengan natab banten dapetan. Bagi Umat Hindu upacara perkawinan mempunyai tiga arti penting yaitu :

a.       Sebagai upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri kedua calon mempelai agar mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga dan nantinya agar bisa mendapatkan keturunan yang baik dapat menolong meringankan derita orang tua/leluhur.

b.      Sebagai persaksian secara lahir bathin dari seorang pria dan seorang wanita bahwa keduanya mengikatkan diri menjadi suami-istri dan segala perbuatannya menjadi tanggung jawab bersama.

c.       Penentuan status kedua mempelai, walaupun pada dasarnya Umat Hindu menganut sistim patriahat (garis Bapak) tetapi dibolehkan pula untuk mengikuti sistim patrilinier (garis Ibu). Di Bali apabila kawin mengikuti sistem patrilinier (garis Ibu) disebut kawin nyeburin atau nyentana yaitu mengikuti wanita karena wanita nantinya sebagai Kepala Keluarga.

Upacara Pernikahan ini dapat dilakukan di halaman Merajan/Sanggah Kemulan (Tempat Suci Keluarga) dengan tata upacara yaitu kedua mempelai mengelilingi Sanggah Kemulan (Tempat Suci Keluarga) sampai tiga kali dan dalam perjalanan mempelai perempuan membawa sok pedagangan (keranjang tempat dagangan) yang laki memikul tegen-tegenan (barang-barang yang dipikul) dan setiap kali melewati “Kala Sepetan” (upakara sesajen yang ditaruh di tanah) kedua mempelai menyentuhkan kakinya pada serabut kelapa belah tiga.

Setelah tiga kali berkeliling, lalu berhenti kemudian mempelai laki berbelanja sedangkan mempelai perempuan menjual segala isinya yang ada pada sok pedagangan (keranjang tempat dagangan), dilanjutkan dengan merobek tikeh dadakan (tikar yang ditaruh di atas tanah), menanam pohon kunir, pohon keladi (pohon talas) serta pohon endong dibelakang sanggar pesaksi/sanggar Kemulan (Tempat Suci Keluarga) dan diakhiri dengan melewati "Pepegatan" (Sarana Pemutusan) yang biasanya digunakan benang didorong dengan kaki kedua mempelai sampai benang tersebut putus.[1]


4. Upacara Magedong 7 Bulanan Hindu




Upacara Megedong-Gedongan adalah upacara yang dilakukan untuk bayi yang masih ada dalam kandungan ibunya, Megedong-Gedongan termasuk dalam Manusa Yadnya. Agama Hindu khususnya di Bali tak bisa lepas dari upacara, upacara dalam agama Hindu disebut Yadnya. Yadnya terdiri dari 5 macam yang biasa disebut Panca Yadnya, yaitu :
Dewa Yadnya      : Upacara suci yang dipersembahkan untuk dewa-dewi, Tuhan Yang Maha Esa.

Bhuta Yadnya      : Upacara suci yang dilakukan untuk menyucikan alam beserta isinya.

Manusa Yadnya   : Upacara suci yang dilakukan pada manusia.

Pitra Yadnya        : Upacara suci yang dipersembahkan kepada roh leluhur.

Rsi Yadnya           : Upacara suci yang dilakukan untuk para orang suci umat Hindu.

Masing-masing Yadnya tersebut memilik bagian-bagian lagi. Untuk upacara yang termasuk Manusa Yadnya mulai dari Megedong-Gedongan, Otonan, Tiga Bulanan, Metatah (potong gigi), Pawiwahan (pernikahan) dan lainnya.

Pelaksanaan upacara Megedong-Gedongan adalah ketika kehamilan berumur 7 bulan Bali (1 bulan Bali = 35 hari) atau sekitar 8 bulan masehi. Namun di beberapa tempat di Bali ada juga yang melaksanakan ketika kehamilan berumur 6 bulan Bali. Di tempat saya, upacara Megedong-Gedongan dilakukan ketika kehamilan berumur 7 Bulan Bali dan dicari agar bertepatan dengan hari Purnama.

Rangkaian upacara Megedong-Gedongan diawali dengan upacara melukat di “kelebutan” yaitu sumber air alami yang dianggap suci. Kemudian dilanjutkan dengan melukat di gria yang dilakukan oleh sulinggih (Ida Pendanda). Sore harinya upacara Megedong-Gedongan dilaksanakan di rumah yang dipuput oleh Pemangku. Pelaksanaan upacara Megedong-Gedongan kurang lebih seperti upacara Otonan, namun ada beberapa sesajen yang berbeda.

Terakhir pasangan suami istri akan duduk berdampingan untuk mendengarkan kekawin (kidung suci) yang berisi tentang petuah dan nasehat untuk ibu hamil dan juga suaminya. Dalam petuah tersebut banyak hal yang berisi tentang larangan dan juga saran untuk pasangan suami istri. Misalnya suami tidak boleh berkata kasar atau berbuat kasar pada istri, suami tidak boleh membangunkan istri dengan tiba-tiba dan berbagai hal lainnya.

Walaupun upacara Megedong-Megedongan hanya ada dalam agama Hindu, tetapi di daerah Jawa juga ada upacara serupa, biasa disebut dengan Tujuh Bulanan. Namun upacara Tujuh Bulanan tersebut bukan upacara agama melainkan upacara adat. Ini mungkin tidak lepas dari sejarah dimana dulunya agama Hindu adalah agama yang dianut di nusantara sebelum agama lain masuk Indonesia.

Upacara tersebut hingga kini masih dilaksanakan oleh sebagian penduduk di Jawa apapun agamanya karena upacara tersebut merupakan warisan leluhur yang pada dasarnya mempunyai tujuan suci dan kebaikan khususnya bagi bayi yang ada dalam kandungan sang ibu.[1]


  5. Upacara Ngaben Hindu di Bali

      

Upacara Ngaben ini termasuk ke dalam ngaben Sawa Wedana, yaitu upacara ngaben dengan melibatkan jenazah yang masih utuh (tanpa dikubur terlebih dahulu). Biasanya dilaksanakan dalam waktu 3-7 hari dihitung dari hari meninggalnya orang tersebut. Kecuali pada upacara dengan skala Utama, yang persiapannya bisa berlangsung sampai sebulan. Dimana pihak keluarga mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara, maka jenazah akan diletakkan di balai adat yang ada di masing-masing rumah dengan pemberian ramuan tertentu untuk memperlambat pembusukan jenazah. Pemberian ramuan sering digantikan dengan penggunaan formalin. Selama jenazah masih ditaruh di balai adat, pihak keluarga masih memperlakukan jenazahnya layaknya masih hidup, seperti membawakan kopi, memberi makan disamping jenazah, membawakan handuk dan pakaian, dll sebab sebelum diadakan upacara yang disebut Papegatan maka yang bersangkutan dianggap hanya tidur dan masih berada dilingkungan keluarganya, mayat ini bernama I Wayan Ijin.

Makna dan Tujuan sebagai berikut:

1.    Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam).

2.  Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka.

3.    Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan.

Rangkaian Upacara Ngaben:

1.      Ngulapin                  : Upacara memangggil sang Atman.

2.      Nyiramin                  : Memandikan jenazah di halaman rumah keluarga.

3.      Ngajum Kajang        : Selembar kertas putih yang ditulis dengan aksara magis oleh pemangku.

4.      Ngaskara                  : Penyucian Roh Mendiang.

5.      Mameras                  : artinya berhasil, dan upacara ini dilakukan ketika mendiang sudah memiliki cucu.

6.      Papegatan                 : Memutuskan hubungan duniawi dan cinta dari kerabat mendiang.

7.      Pakiriman Ngutang  : Jenazah dinaikan ke atas wadah atau menara pengusung jenazah.

8.      Ngeseng                   : Upacara pembakaran jenazah.

9.      Ngayud                  : Menghanyutkan abu jenazah, sebagai ritual menghanyutkan kotoran yg masih tertingal dalam roh mendiang.

10.  Makelud                : dilaksanakan 12 hari setelah melakukan pembakaran, dengan tujuan untuk menyucikan lingkungan sekitar.[1]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Profil Penulis dan Dosen Pengampu

Kelompok 4 Profil Penulis: Aeni Nurul Latifah Serang, 24 Desember 1998 11170321000037 Hobi: Baca Novel dan Memasak Siti Marya...